Kamis, 14 Februari 2013


Menanti Kebebasan
Karya Yovi Ersariadi

Aku benci hidup. Aku benci kehidupan. Aku benci dunia ini. Aku benci Negara ini. Aku benci system pemerintahannya. Aku benci kota ini. Aku benci masyarakatnya. Aku benci rumah ini. Aku benci paviliumnya, lantainya, dindingnya, pintunya, jendelanya, dan lukisan-lukisannya. Aku benci kamarku. Aku benci tempat tidurku. Aku benci lemariku. Aku benci bonekaku. Aku benci buku-bukuku. Aku benci orang-orang di dalam rumah ini. Aku benci suami ku. Aku benci ucapannya, rayuannya, amarahnya dan fisiknya. Aku benci…. Aku benci…. Aku benci… Dan aku benci diriku sendiri.
Aku selalu membayangkan, untuk bisa terbang jauh dari tempat ini. Aku benci terkurung seperti ini, terkurung layaknya burung dalam sangkar, tapi aku beda, mereka dikurung dengan besi-besi, tersiksa, makan minum seadanya, tidur bersamaan tinja-tinja mereka, iiiissss jorok sekali mereka. sedangkan aku? Aku lebih baik dari itu.

Aku pernah juga membayangkan untuk bisa hidup di dunia bebas seperti binatang-binatang buas lainnya yang kuat dan perkasa, hidup bebas, tanpa aturan, tidak ada pelanggaran, hanya saja siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Aku suka itu. Aku ingin layaknya mereka. Bebas. Bebas. Hidup bebas.
“Huuufftt….. mimpi kamu Lastri”
***
Satu… dua… tiga… empat… lima… enam.. tujuh… ya, benar-benar tujuh. Aku tidak salah hitungkan. Tidak. Pasti tidak. Tujuh pintu? Apa ini? Kenapa pintu ini dipasangkan sejajar dalam satu ruangan? Aku bingung, pintu kemana ini? Untuk apa pintu ini dibuat?.
***
“Lastri, kamu bukan seperti perempuan-perempuan lain”.
“Lastri, kamu istimewa”.
“Lastri. kamu berbeda”.
“Lastri, kamu harus bersyukur gusti Allah memberikanmu wajah  ayu, yang membuat setiap laki-laki berkeinginan untuk memilikimu”.
“Lastri, tidak ada perempuan yang punya nasib seberuntung kamu nduk”.
“Lastri, tidak ada yang bisa hidup seenak kamu. Mau makan, minum, atau apa pun itu, tinggal minta, tinggal suruh dan perintah saja, semua pasti akan tersedia”.
“Lastri, kamu tidak perlu capek-capek mengeluarkan tenagamu untuk membantu suamimu, mencari uang”.
“Lastri, kamu itu cuma perlu duduk manis, menanti kepulangan suamimu, menemaninya, dan memuaskan nafsu birahinya saja, itu pun kalau dia pulang ke rumah”.
***
Aku berjalan mengelilingi rumah ini. Ya, aku berjalan sendirian mengitari setiap susut dari rumah ini. Aku tersesat. Tersesat? Aku aneh. Aku tersesat didalam rumahku sendiri. Rumahku? Bukan, rumah suamiku. Suami ku. Aku belum pernah keruangan ini, walau aku telah hidup disini selama 5 tahun. Aku tinggal di gubuk yang megah ini sudah 5 tahun, tapi aku tidak pernah mengunjungi tiap-tiap ruangannya. Aku tinggal dirumah ini, seperti yang aku jelaskan tadi. Aku hanya menunggu, menanti, menemani, dan melayani. Argh.. aku bosan menceritakannya.
Aku buka pintu-pintu itu. Aku lihat, tiap-tiap isi didalamnya. Aku buka satu persatu, perlahan dan pelan.
                                                                        ***
Itu dia. Dia datang, datang lagi, untuk kesekian kalinya. Aku mulai bekerja, bukan, melaksanakan tugas-tugasku. Aku sambut dia di depan pintu. Aku cium pipinya, seperti biasa ia membalas ciumanku sehingga menghasilkan suara yang kukenal. Aku lepaskan sepatunya. Aku menemani setiap yang dilakukannya sampai malam menjemput keheningan.
            “Aku capek. Aku akan tidur. Aku akan berangkat ke sana, besok pagi-pagi sekali”, ujarnya.
                                                                        ***
Apa ini? Pintu apa ini? Kemanakah tujuan dari pintu ini? Kenapa ada di ruangan ini? Aku ingin mempertanyakan banyak hal. Tapi, siapa yang akan menjawabnya. Ku masuki satu persatu pintu itu. Tak berujung. Hanya pintu dengan dinding di baliknya. Aku buka pintu terakhir. Ya, perlahan dan pelan. Sekelebat cahaya menusuk mataku. Apa? Ini apa?.
“Masuk, masuk, masuk”, pikiranku menyuruhku untuk masuk dan menelusuri cahaya ini.
“Tidak, jangan, ini bukan tempat kamu, ini bukan tujuan akhirmu, ini bukan tempat yang kamu inginkan. Kamu ingin bebaskan. Tidak, bebas tidak ada disini. Jadi jangan masuk kedalamnya”, pikiranku yang lain juga mengusulkan itu.
  Aku turuti pikiran awal ku, untuk masuk kedalamnya. Masuk, masuk dan masuk.
Kog, loh, kenapa aku kembali  kedalam kamar ku sendiri? Apa maksudnya ini? Bingung, tak kudapatkan jawaban. Pintu apa tadi?
                                                            ***
 Aku seperti hidup dalam kerangka bangunan yang terbuat dari emas, tapi tetap saja dindingnya dari bambu.  Aku hidup dalam kebebasan, tapi bukan kebebasan yang aku inginkan. Aku tau aku dikaruniai Tuhan bentuk yang sempurna, tapi tidak digunakan untuk melayaninya, menemaninya jika diperlukan, menanti kedatangannya kalau ia sempat berkunjung. Aku tidak suka. Aku ingin hidup layaknya wanita-wanita lain, bebas, walau kadang mereka memandangku sebagai wanita yang sempurna. Aku ingin bergerak, melakukan sesuatu yang bisa mendatangkan perubahan, setidaknya berguna untuk sesama. Bukan seperti ini, hanya di tempat tidur saja aku ahlinya. Itu pun cuman kata dia, karena cukup dia saja yang merasakannya.
                                                            ***
Bukan, ini bukan kamar yang biasa aku tinggal. Tempat ini sangat berbeda, tapi betuknya sama, mungkin suasananya. Aku melihat seisi kamar, sama bahkan persis dengan barang-barang yang ada dikamarku. Aku telusuri setiap lorong dan ruang dari rumah ini, semuanya pun juga sama persis dengan yang ada di rumah itu, pintunya, dindingnya, interiornya, lukisannya, dan perabotannya.
“Lastri, katanya kamu ada meeting hari ini? Kamu ngak sarapan dulu?”, sapa suamiku.
“Eh.. meeting, i..ii..yaa… ni mau sarapan. Mas udah sarapan..?”, dengan terbata-bata.
“Yuu’.. bareng aja ntar kita berangkatnya, ntar aku anterin kamu”.
“Gag usah Mas, duluan ajjh, ge pula aku juga mau ke tempat lain dulu”.
Ya udah kalau begitu, lain kali ajja”.
Aku dimana? Meeting apa? Dengan siapa? Kenapa Mas Handri begitu berbeda padaku. Apa Ia tidak takut kalau seumpama ketahuan oleh Mbak Lisa, isterinya.
Aku jalani waktuku dalam sepekan ditempat ini. Aku mendapat kepuasan hidup. Aku dapatkan kebebasan, yang selama ini aku impi-impikan. Aku mendapat kasih sayang lebih dari Mas Handri, katanya, aku bukan saja jago di ranjang tapi aku juga hebat dalam dunia karir. Disini, aku tak perlu takut kalau sewaktu-waktu Mbak Lisa datang melabrakku. Kenapa aku harus takut? Ini tempatku, aku lah yang berkuasa disini.
                                                            ***
Lastri… Lastri… Lastri.. sayang dimana kamu?“.
“Sudah seminggu ini saya tidak ada ketemu nyonya, Tuan”, jawab si mbok dengan tergopoh-gopoh.
“Kemana dia?”, tanya mas Handri.
Kurang tau saya Tuan, Nyonya tidak ada berbicara sedikit pun dengan saya, semenjak Tuan pergi ke luar kota waktu itu.”, jawabnya lirih.
“O, ya sudah, makasih Mbok”.
                                                            ***
Aku suka tempat ini. Aku suka dunianya. Aku takkan kemballi ke sana. Aku akan hidup kekal disini, selamanya.
***
“Lastri… Lastri... Lastri… dimana kamu sayang?”,
“Dimana dia..? nomornya ditelpon gag aktif, di tanyain kemana-mana juga ngak ada, setahu ku, dia cuma punya satu kenalan di kota ini, itu pun tidak begitu kenal mereka, kemana perginya dia ya?”, pikir mas Handri.
Mas Handri terus mencari ke dalam kamar, tapi ia tidak menemukan apa-apa. Ia telusuri tiap-tiap ruangan, tetap saja hasilnya nihil. “Ini yang terakhir…” ucapnya lirih. Ruangan yang berada di loteng sebelah kanan ini merupakan tujuan akhirnya. “Mudah-mudahan ada”, pikirnya. Ia sangat terkejut mendapati sosok perempuan yang telah berbaring dengan darah yang bergelimpangan disekitarnya. Darah itu mulai mengering, sepertinya sudah dua hari yang lalu ditinggal pemiliknya. Goresan pisau di tangannya pun udah mulai membusuk. Bau busuk yang menyengat menyebar kemana-mana.
Lastri, seorang istri simpanan, mati bunuh diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar