Kamis, 14 Februari 2013



Surat untuk Uwo Darsih

Wanita tua itu girang sekali. Entah apa yang terjadi padanya. Raut wajahnya yang semakin menipis memperlihatkan betapa ia bahagia. Senyumannya yang sudah tua dan dimakan usia seolah-olah menjadi penyemangat untuk menggerakkan kedua tangannya demi membuka lembaran-lembaran itu.
Ia memang selalu begitu, bahagia ketika menerima surat. Aku selalu memperhatikan gerak-geriknya yang begitu anggun. Semangatnya bukan lagi semangat orang muda, tapi aura kebahagian serta senyuman yang penuh tawa membuat semangatnya kembali muda.
Tapi tidak dengan hari ini, aku mendengar suaranya yang begitu beda, beda sekali dengan hari-hari biasanya. Akupun bertanya dalam hati, ada apa dengan wanita tua itu?. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, ketika semua orang kampung mengerumi tubuh beliau.
“Ada apa bu?”, kataku
Sejenak ibu terdiam dan mengambil tanganku untuk dibawa jauh dari keramaian. Keramaian yang menyelimuti tubuh tua itu.

Dalam hati, aku hanya bisa bertanya-bertanya. Kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi.
Esoknya, akupun mendengar hal yang serupa, tetapi dibarengi dengan tawa kecil dan beda. Aku semakin bertanya. Pertanyaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?.
Lalu, ia  kembali menangis sambil tertawa. Awalnya orang kampung sini kasihan melihat wanita tua itu, tapi bagaimana seharusnya, hanya itu yang bisa dilakukan oleh warga kampung. Sekedar menyenangkan hatinya.

***
Peristiwa itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Ketika langit mendung, semendung air mata yang keluar dari mata Uwo Darsih—nama wanita tua itu. Banyak orang yang menyaksikan kejadiannya. Ketika itu aku baru berusia delapan tahun. Aku melihat betapa sedihnya Uwo Darsih, tetapi aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Yang aku tahu hanyalah kesedihan yang terpancar dari wajahnya dan air mata pilu yang keluar bersamaan dengan hujan yang mengguyur seluruh tubuhnya. Ia basah, dan ia sedih. Hanya itu yang aku tahu.
Beberapa saat kemudian, aku dibimbing oleh ibuku untuk pulang. Hujan yang turun secara tiba-tiba membuat pandanganku seolah-olah memudar. Aku melihat sepintas, ketika tanganku masih dibimbing oleh ibu dan kakiku melangkah pulang, aku masih melihat kebelakang, ya kebelakang tepat dimana Uwo Darsih masih terduduk lesu sambil mengeluarkan air mata. Air mata yang bisa mengalahkan hujan yang turun saat itu.
“Bu, apa yang terjadi sama Uwo Darsih?”, tanyaku pada ibu.
Ngak ada apa-apa kok nak, Uwo Darsih hanya sedih dan itu cuman sementara”, jawab ibu sambil terus memegang tanganku dengan eratnya.
“Bu, kenapa ia menanggis”, tanyaku lagi.
“Anakku, Uwo Darsih tidak apa-apa, ia hanya bersedih”, tambah ibu sambil terus berjalan menjauhi rumah Uwo Darsih
Aku tahu Uwo Darsih sedih, tapi sedih kenapa?, dan kenapa ia mengeluarkan air mata sambil berteriak seperti itu ketika ia membaca surat yang diantar oleh Pak pos tadi siang?. Aku sendiri menyaksikan kejadian itu dari awal.
***
Siang itu, ketika matahari mencapai puncaknya. Panas dan bikin gerah. Aku sendiri masih bermain dengan mainan yang dibeliin ibu kemaren. Aku sendiri tahu, jika umurku sudah delapan tahun, tapi bermain bersama mainan itu menjadi kegiatan yang mengasyikkan.
Dari rumahku yang berjarak beberapa kilo dari rumah Uwo Darsih, aku bisa melihat wanita tua itu dengan jelas. Karena emang, tak ada pembatas yang besar atau tinggi yang menghalangi pandanganku. Cuman sawah dan ladang yang berhamburan di depan rumah hingga ke depan rumah Uwo Darsih.
Aku melihat Uwo Darsih masih membersihkan rumput-rumput yang menjalar diladang ladonya. Aku tahu, jika rumput itu tidak dibersihkan, maka akan berdapak buruk terhadap tanaman lado. Siang itu memang sangat panas, tapi semangat dan kerja keras Uwo Darsih membuat panas itu urung diri untuk mendekati tubuh beliau yang sudah tua.
Tiba-tiba saja wanita tua itu berlari-lari kecil kerumahnya. Dari kejahuan aku bisa melihat ada orang yang memanggilnya. Orang itu berpakai serba orange. Mulai dari topi, baju, celana hingga warna motornya nyaris sama. Teringat yang disampaikan oleh Bu Guru di sekolah, jika pak pos identik dengan warna orange. Sepintas aku lansung tau jika yang datang kerumah Uwo Darsih dan memanggilnya yang tengah asyik dengan pekerjaannya itu adalah pak pos. Pak pos yang mengantarkan surat dari anaknya yang pergi jauh mengelilingi dunia dengan kapal.
***
Tujuh tahun yang lalu, anak Uwo Darsih satu-satunya yaitu Rio pergi dengan sebuah kapal besar untuk mengelilingi dunia. Ia tamatan Perkapalan. Jelas, setelah tamat dari sekolah, ia pergi mengintari lautan. Ia seorang ABK.
Sebelum berangkat, ia berjaji sama ibunya—Uwo  Darsih, jika akan selalu mengirimi surat dan akan menceritakan bagaimana perjalanannya mengelilingi dunia. Singgah ke berbagai negara dan banyak mengenal orang banyak. Tak heran, jika foto terakhir yang ia kirimi lewat pos adalah foto ia bersama turis yang diakuinya adalah Nahkoda hebat di Spanyol.
Satu bulan dari keberangkatan Rio, Uwo Darsih menerima surat, foto serta uang yang dikirimi oleh anaknya itu. Rio memang menuliskan tentang perjalannya di surat itu. Setiap menerima surat, mata dan bibir Uwo Darsih menampakkan aroma kebahagian. Itu yang aku dengar dari orang-orang kampung ini. Maka, setiap bulannya selalu ada pak pos yang mengantarkan surat dan yang lainnya, sehingga Uwo Darsih hafal kapan dan jam berapa pak pos itu akan datang kerumahnya.
Wajah tuanya jelas memancar aroma bahagia. Kebahagian yang ia rasakan ketika membaca surat seakan-akan membuat ia lupa dengan semuanya. Ia hanya sibuk dengan surat, surat yang selalu membuat Uwo Darsih tersenyum.
Setiap bulannya seperti itu. Bahagia dan senyum selalu ia pancarkan dari wajah tuanya itu. Walaupun yang datang padanya itu juga berisikan duit, tetapi itu hanya dinomor duakan oleh Uwo Darsih atau mungkin dinomor tigakan, karena aku yakin yang nomor satu adalah cerita dari anaknya dan yang kedua adalah foto yang terpampang jelas dalam lampiran surat itu.
Tapi, sejak kejadian itu. Ketika ia membaca surat yang ia terima dari pak pos, ia menangis dan berteriak sekuat-kuatnya. Seolah-olah surat itu datang untuk menyakitinya. Orang-orang kampungpun berhamburan kerumah Uwo Darsih. Orang-orang kaget mendengar teriakan wanita tua itu. Setelah membaca surat itu, salah seorang dari warga kampung menyampaikan jika ini bukan dari anaknya Rio, tapi dari perusahaan kapal dimana Rio bekerja. Dari surat itu tertulis bahwa kapal yang membawa anak Uwo Darsih tenggelam di lautan Hindia ketika menuju Afrika. Semua orang, Kapten kapal termasuk ABK sudah dinyatakan tewas dalam perisitiwa itu.
***
Uwo Darsih masih menganggap jika anaknya masih hidup. Dan surat yang ia pegang sekarang adalah surat dari anaknya. Ia terlihat sedang membaca surat itu. Aku tak tahu apa ia benar-benar membaca atau hanya sekedar melihat foto anaknya—Rio(Alm).
Uwo Darsih selalu tersenyum sambil menangis. Sesekali ia tertawa dengan kerasnya, lalu kembali menangis. Tangisannya itu membuat aku menjadi iba. Aku sendiri kadang ikut menangis melihat ia dari kejauhan.
Sekarang aku tahu, jika surat yang sekarang dikirimi pak pos setiap bulannya adalah surat yang ditulis oleh orang kampung ini dan juga dari ibuku. Seolah-olah itu adalah dari anaknya. Dan itu yang dilakukan oleh warga kampung sekedar menyenangkan hatinya.
Uwo Darsih akan sedih dan terus berteriak dengan kerasnya jika ia tidak menerima surat”, kata ibuku.
 “ Betapa pentingnya arti surat untuk Uwo Darsih”, kataku dalam hati.

.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar