Surat
untuk Uwo Darsih
Wanita tua
itu girang sekali. Entah apa yang terjadi padanya. Raut wajahnya yang semakin
menipis memperlihatkan betapa ia bahagia. Senyumannya yang sudah tua dan
dimakan usia seolah-olah menjadi penyemangat untuk menggerakkan kedua tangannya
demi membuka lembaran-lembaran itu.
Ia
memang selalu begitu, bahagia ketika menerima surat. Aku selalu memperhatikan
gerak-geriknya yang begitu anggun. Semangatnya bukan lagi semangat orang muda,
tapi aura kebahagian serta senyuman yang penuh tawa membuat semangatnya kembali
muda.
Tapi
tidak dengan hari ini, aku mendengar suaranya yang begitu beda, beda sekali
dengan hari-hari biasanya. Akupun bertanya dalam hati, ada apa dengan wanita
tua itu?. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, ketika semua orang kampung
mengerumi tubuh beliau.
“Ada
apa bu?”, kataku
Sejenak
ibu terdiam dan mengambil tanganku untuk dibawa jauh dari keramaian. Keramaian
yang menyelimuti tubuh tua itu.
Dalam
hati, aku hanya bisa bertanya-bertanya. Kenapa dan apa yang sebenarnya terjadi.
Esoknya,
akupun mendengar hal yang serupa, tetapi dibarengi dengan tawa kecil dan beda.
Aku semakin bertanya. Pertanyaan yang sama. Apa yang sebenarnya terjadi
dengannya?.
Lalu,
ia kembali menangis sambil tertawa. Awalnya
orang kampung sini kasihan melihat wanita tua itu, tapi bagaimana seharusnya, hanya
itu yang bisa dilakukan oleh warga kampung. Sekedar menyenangkan hatinya.
***
Peristiwa
itu terjadi sekitar lima tahun yang lalu. Ketika langit mendung, semendung air
mata yang keluar dari mata Uwo Darsih—nama
wanita tua itu. Banyak orang yang menyaksikan kejadiannya. Ketika itu aku baru
berusia delapan tahun. Aku melihat betapa sedihnya Uwo Darsih, tetapi aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Yang aku
tahu hanyalah kesedihan yang terpancar dari wajahnya dan air mata pilu yang
keluar bersamaan dengan hujan yang mengguyur seluruh tubuhnya. Ia basah, dan ia
sedih. Hanya itu yang aku tahu.
Beberapa
saat kemudian, aku dibimbing oleh ibuku untuk pulang. Hujan yang turun secara
tiba-tiba membuat pandanganku seolah-olah memudar. Aku melihat sepintas, ketika
tanganku masih dibimbing oleh ibu dan kakiku melangkah pulang, aku masih
melihat kebelakang, ya kebelakang tepat dimana Uwo Darsih masih terduduk lesu sambil mengeluarkan air mata. Air
mata yang bisa mengalahkan hujan yang turun saat itu.
“Bu,
apa yang terjadi sama Uwo Darsih?”,
tanyaku pada ibu.
“Ngak ada apa-apa kok nak, Uwo Darsih hanya sedih dan itu cuman
sementara”, jawab ibu sambil terus memegang tanganku dengan eratnya.
“Bu,
kenapa ia menanggis”, tanyaku lagi.
“Anakku,
Uwo Darsih tidak apa-apa, ia hanya
bersedih”, tambah ibu sambil terus berjalan menjauhi rumah Uwo Darsih
Aku
tahu Uwo Darsih sedih, tapi sedih kenapa?,
dan kenapa ia mengeluarkan air mata sambil berteriak seperti itu ketika ia
membaca surat yang diantar oleh Pak pos tadi siang?. Aku sendiri menyaksikan
kejadian itu dari awal.
***
Siang
itu, ketika matahari mencapai puncaknya. Panas dan bikin gerah. Aku sendiri
masih bermain dengan mainan yang dibeliin ibu kemaren. Aku sendiri tahu, jika
umurku sudah delapan tahun, tapi bermain bersama mainan itu menjadi kegiatan
yang mengasyikkan.
Dari
rumahku yang berjarak beberapa kilo dari rumah Uwo Darsih, aku bisa melihat wanita tua itu dengan jelas. Karena
emang, tak ada pembatas yang besar atau tinggi yang menghalangi pandanganku.
Cuman sawah dan ladang yang berhamburan di depan rumah hingga ke depan rumah Uwo Darsih.
Aku
melihat Uwo Darsih masih membersihkan
rumput-rumput yang menjalar diladang ladonya.
Aku tahu, jika rumput itu tidak dibersihkan, maka akan berdapak buruk terhadap
tanaman lado. Siang itu memang sangat
panas, tapi semangat dan kerja keras Uwo
Darsih membuat panas itu urung diri untuk mendekati tubuh beliau yang sudah
tua.
Tiba-tiba
saja wanita tua itu berlari-lari kecil kerumahnya. Dari kejahuan aku bisa
melihat ada orang yang memanggilnya. Orang itu berpakai serba orange. Mulai dari topi, baju, celana
hingga warna motornya nyaris sama. Teringat yang disampaikan oleh Bu Guru di
sekolah, jika pak pos identik dengan warna orange.
Sepintas aku lansung tau jika yang datang kerumah Uwo Darsih dan memanggilnya yang tengah asyik dengan pekerjaannya
itu adalah pak pos. Pak pos yang mengantarkan surat dari anaknya yang pergi
jauh mengelilingi dunia dengan kapal.
***
Tujuh
tahun yang lalu, anak Uwo Darsih satu-satunya
yaitu Rio pergi dengan sebuah kapal besar untuk mengelilingi dunia. Ia tamatan
Perkapalan. Jelas, setelah tamat dari sekolah, ia pergi mengintari lautan. Ia
seorang ABK.
Sebelum
berangkat, ia berjaji sama ibunya—Uwo Darsih, jika akan selalu mengirimi surat dan
akan menceritakan bagaimana perjalanannya mengelilingi dunia. Singgah ke
berbagai negara dan banyak mengenal orang banyak. Tak heran, jika foto terakhir
yang ia kirimi lewat pos adalah foto ia bersama turis yang diakuinya adalah
Nahkoda hebat di Spanyol.
Satu
bulan dari keberangkatan Rio, Uwo
Darsih menerima surat, foto serta uang yang dikirimi oleh anaknya itu. Rio
memang menuliskan tentang perjalannya di surat itu. Setiap menerima surat, mata
dan bibir Uwo Darsih menampakkan
aroma kebahagian. Itu yang aku dengar dari orang-orang kampung ini. Maka,
setiap bulannya selalu ada pak pos yang mengantarkan surat dan yang lainnya,
sehingga Uwo Darsih hafal kapan dan
jam berapa pak pos itu akan datang kerumahnya.
Wajah
tuanya jelas memancar aroma bahagia. Kebahagian yang ia rasakan ketika membaca
surat seakan-akan membuat ia lupa dengan semuanya. Ia hanya sibuk dengan surat,
surat yang selalu membuat Uwo Darsih
tersenyum.
Setiap
bulannya seperti itu. Bahagia dan senyum selalu ia pancarkan dari wajah tuanya
itu. Walaupun yang datang padanya itu juga berisikan duit, tetapi itu hanya
dinomor duakan oleh Uwo Darsih atau mungkin dinomor tigakan, karena aku yakin
yang nomor satu adalah cerita dari anaknya dan yang kedua adalah foto yang
terpampang jelas dalam lampiran surat itu.
Tapi,
sejak kejadian itu. Ketika ia membaca surat yang ia terima dari pak pos, ia
menangis dan berteriak sekuat-kuatnya. Seolah-olah surat itu datang untuk
menyakitinya. Orang-orang kampungpun berhamburan kerumah Uwo Darsih. Orang-orang kaget mendengar teriakan wanita tua itu.
Setelah membaca surat itu, salah seorang dari warga kampung menyampaikan jika
ini bukan dari anaknya Rio, tapi dari perusahaan kapal dimana Rio bekerja. Dari
surat itu tertulis bahwa kapal yang membawa anak Uwo Darsih tenggelam di lautan Hindia ketika menuju Afrika. Semua orang,
Kapten kapal termasuk ABK sudah dinyatakan tewas dalam perisitiwa itu.
***
Uwo
Darsih masih menganggap jika anaknya masih hidup. Dan surat yang ia pegang
sekarang adalah surat dari anaknya. Ia terlihat sedang membaca surat itu. Aku
tak tahu apa ia benar-benar membaca atau hanya sekedar melihat foto
anaknya—Rio(Alm).
Uwo
Darsih selalu tersenyum sambil menangis. Sesekali ia tertawa dengan kerasnya,
lalu kembali menangis. Tangisannya itu membuat aku menjadi iba. Aku sendiri
kadang ikut menangis melihat ia dari kejauhan.
Sekarang
aku tahu, jika surat yang sekarang dikirimi pak pos setiap bulannya adalah
surat yang ditulis oleh orang kampung ini dan juga dari ibuku. Seolah-olah itu
adalah dari anaknya. Dan itu yang dilakukan oleh warga kampung sekedar
menyenangkan hatinya.
“Uwo Darsih akan sedih dan terus
berteriak dengan kerasnya jika ia tidak menerima surat”, kata ibuku.
“ Betapa pentingnya arti surat untuk Uwo Darsih”, kataku dalam hati.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar