LIMA
TIGA
Pagi
buta, aku telah meninggalkan istana bahagiaku, tempat terbaik yang aku tinggali
dengan seorang wanita paruh baya, yang umurnya kian senja dimakan oleh waktu
yang terus berputar. Aku menelusuri lorong-lorong sempit yang dianggap jalan
tol bagi warga disini. Sebenarnya jalan tersebut tak bisa lagi untuk dilalui,
tapi apa daya hanya segilincir itu yang
bisa kami pergunakan untuk menempuh jalan yang lebih singkat. Lorong penembus
jarak sejauh tiga kilo meter. Daripada
harus memutar jauh dari RT tiga ke RT
lima, kami lebih suka melewati jalur tikus ini.
Sembari
berjalan menuju tempat mencari nafkah seiring dibawa oleh dua mata kaki menuju tempat yang mungkin bisa
mendapatkan apa yang kuinginkan, terserah apapun yang bisa aku lakukan, kuli angkut
yang harus melawan terik matahari atau tukang parkir dipasar. Aku berharap hari
ini semuanya akan ku dapatkan, segumpal rupiah yang harus ada dalam kantongku
menjelang malam datang.
Sambil
menunggu kendaraan yang belum menerima jasa titipan motor atau parkir, aku
lansung lari menuju mobil barang yang datang dari perdesaan membawa
barang-barang yang akan dijajal didalam pasar. Raga ku siap untuk mengangkut
barang yang beratnya melebihi yang aku bayangkan, berulang kali terus aku
lakukan. Walaupun badan ini tak sanggup lagi untuk menahan apa yang menjadi
beban punggungku. Aku tersenyum menerima beberapa lembaran walaupun entah
berapa yang aku terima, secarik uang yang telah keriput, mungkin hanya cukup
untuk mengisi kampung tengah yang telah membubut ingin diisi.
Tak
kalah semangatnya dengan menjadi kuli angkut, motor yang datang pun aku jaga
dengan baik, seperti seorang satpam tanpa ijazah dan SK, aku menjadi seorang
keamanan pasar khusus menjaga motor yang ditinggalkan oleh pemiliknya., Melihat
dengan detail motor yang mereka titipkan, kendala panas, lansung aku carikan
kardus sisa barang untuk melawan terik matahari yang akan mengarahkan sinarnya
ke motor yang akan menambah pundi-pundi lembaran uang dikantongku. Dan bisa membeli apa yang kuinginkan hari
ini,
“demi
lima tiga”, kataku dalam hati.
Matahari
kian merapat ke ufuk barat, menandakan para pekerja yang hanya dengan tinta maupun dengan otot untuk
segera melepas penatnya dan berbagi cerita dengan keluarganya dirumah. Tapi aku
tak lansung pulang, aku hanya ingin membahagiakan ibuku dengan umurnya kian
senja.
Dalam perjalanan, aku singgah ditoko
bunga, aku mengambil setangkai bunga untuk dibawa pulang, aku ingat sekali, ibu
paling suka bunga mawar berwarna merah. Sesekali aku tersenyum melihat bunga
tersebut, entah apa yang ada dipikiran ku, aku harus segera pulang dan
melihatkan ini semua pada ibuku.
Matahari
berganti dengan bulan, dimana dia harus menerangkan belahan lain, dan saat ini
memang hak bulan untuk membuat negeri ini tersenyum disaat malam, empat kantong
yang aku tenteng telah siap untuk menyambut kebahagian ibu.
Sesampai
dirumah, belum ada satupun penerang yang ada dalam rumah kami, aku lansung
mengambil lentera merah untuk diletakkan diatas meja makan yang terbuat dari
bambu tersebut. Tak banyak pikir, lansung aku siapkan semuanya. Ikan bakar,
sayur mayur, tak ketinggalan buah-buahan yang sempat juga aku beli tadi sore.
Setangkai bunga mawar berwarna merah tak ketinggalan ku letakkan dimeja dimana
nantinya beliau akan duduk.
Aku
berjalan kekamar ibuku, aku menangis melihatnya, tapi aku harus bisa tersenyum
didepannya, aku bangunkan ibuku. ” Ibu” kataku. Ibu lansung tersenyum dan aku
angkat ibu ku dari tempat tidur yang selalu menampung beliau ketika aku tak ada
dirumah. Aku bahagia sekali melihat senyum terindahnya itu. Kami lansung duduk
dimeja makan sembari aku berkata “ Selamat Ulang Tahun ya bu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar