Senin, 28 November 2011


LIMA TIGA

Pagi buta, aku telah meninggalkan istana bahagiaku, tempat terbaik yang aku tinggali dengan seorang wanita paruh baya, yang umurnya kian senja dimakan oleh waktu yang terus berputar. Aku menelusuri lorong-lorong sempit yang dianggap jalan tol bagi warga disini. Sebenarnya jalan tersebut tak bisa lagi untuk dilalui, tapi apa daya  hanya segilincir itu yang bisa kami pergunakan untuk menempuh jalan yang lebih singkat. Lorong penembus jarak sejauh  tiga kilo meter. Daripada harus memutar jauh dari RT tiga ke RT  lima, kami lebih suka melewati jalur tikus ini.  
Sembari berjalan menuju tempat mencari nafkah seiring dibawa oleh dua mata  kaki menuju tempat yang mungkin bisa mendapatkan apa yang kuinginkan, terserah apapun yang bisa aku lakukan, kuli angkut yang harus melawan terik matahari atau tukang parkir dipasar. Aku berharap hari ini semuanya akan ku dapatkan, segumpal rupiah yang harus ada dalam kantongku menjelang malam datang.
Sambil menunggu kendaraan yang belum menerima jasa titipan motor atau parkir, aku lansung lari menuju mobil barang yang datang dari perdesaan membawa barang-barang yang akan dijajal didalam pasar. Raga ku siap untuk mengangkut barang yang beratnya melebihi yang aku bayangkan, berulang kali terus aku lakukan. Walaupun badan ini tak sanggup lagi untuk menahan apa yang menjadi beban punggungku. Aku tersenyum menerima beberapa lembaran walaupun entah berapa yang aku terima, secarik uang yang telah keriput, mungkin hanya cukup untuk mengisi kampung tengah yang telah membubut ingin diisi.
Tak kalah semangatnya dengan menjadi kuli angkut, motor yang datang pun aku jaga dengan baik, seperti seorang satpam tanpa ijazah dan SK, aku menjadi seorang keamanan pasar khusus menjaga motor yang ditinggalkan oleh pemiliknya., Melihat dengan detail motor yang mereka titipkan, kendala panas, lansung aku carikan kardus sisa barang untuk melawan terik matahari yang akan mengarahkan sinarnya ke motor yang akan menambah pundi-pundi lembaran uang dikantongku.  Dan bisa membeli apa yang kuinginkan hari ini,
 “demi lima tiga”, kataku dalam hati.
Matahari kian merapat ke ufuk barat, menandakan para pekerja yang  hanya dengan tinta maupun dengan otot untuk segera melepas penatnya dan berbagi cerita dengan keluarganya dirumah. Tapi aku tak lansung pulang, aku hanya ingin membahagiakan ibuku dengan umurnya kian senja.
            Dalam perjalanan, aku singgah ditoko bunga, aku mengambil setangkai bunga untuk dibawa pulang, aku ingat sekali, ibu paling suka bunga mawar berwarna merah. Sesekali aku tersenyum melihat bunga tersebut, entah apa yang ada dipikiran ku, aku harus segera pulang dan melihatkan ini semua pada ibuku.
Matahari berganti dengan bulan, dimana dia harus menerangkan belahan lain, dan saat ini memang hak bulan untuk membuat negeri ini tersenyum disaat malam, empat kantong yang aku tenteng telah siap untuk menyambut kebahagian ibu.
Sesampai dirumah, belum ada satupun penerang yang ada dalam rumah kami, aku lansung mengambil lentera merah untuk diletakkan diatas meja makan yang terbuat dari bambu tersebut. Tak banyak pikir, lansung aku siapkan semuanya. Ikan bakar, sayur mayur, tak ketinggalan buah-buahan yang sempat juga aku beli tadi sore. Setangkai bunga mawar berwarna merah tak ketinggalan ku letakkan dimeja dimana nantinya beliau akan duduk.
Aku berjalan kekamar ibuku, aku menangis melihatnya, tapi aku harus bisa tersenyum didepannya, aku bangunkan ibuku. ” Ibu” kataku. Ibu lansung tersenyum dan aku angkat ibu ku dari tempat tidur yang selalu menampung beliau ketika aku tak ada dirumah. Aku bahagia sekali melihat senyum terindahnya itu. Kami lansung duduk dimeja makan sembari aku berkata “ Selamat Ulang Tahun ya bu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar